Peluang Bisnis Menjadi Agen JNE

Makin maraknya bisnis online berimbas kepada makin meningkatnya frekuensi pengiriman barang melalui jasa kurir yang ada di negeri ini.  Salah satu perusahaan jasa pengiriman yang cukup dikenal dan menjadi primadona di Indonesia adalah JNE. Saat ini JNE sudah tersebar di seluruh wilayah Indonesia dikarenakan banyak orang yang membuka usaha menjadi agen JNE.

salah satu tampilan kantor agen JNE

salah satu tampilan kantor agen JNE

Untuk menjadi agen ekspedisi JNE sekarang tidaklah semudah dulu, naiknya pamor JNE dan semakin banyaknya agen, perlahan tapi pasti pihak JNE mulai memperketat seleksi keagenannya.  Berikut beberapa syarat untuk menjadi agen JNE :

A. SYARAT-SYARAT ADMINISTRASI

  1. Surat Permohonan Keagenan Cash Counter pada JNE Kantor Pusat Jakarta.
  2. Photo copy Akte Pendirian Perusahaan yang telah disahkan Departemen Kehakiman berikut perubahan-perubahannya ( bila ada ).
  3. FC KTP Penanggung Jawab Agen.
  4. FC Surat Keterangan Domisili Perusahaan.
  5. FC Surat Ijin Usaha Perusahaan (SIUP).
  6. FC NPWP Perusahaan.
  7. Pas foto berwarna penanggung jawab/pimpinan perusahaan ukuran 3X4 cm (3 lembar).
  8. Denah lokasi Counter/Gerai.
  9. Pas foto counter luar-ruang (outdoor) dan dalam-ruang (indoor) ukuran postcard masing-masing 1 (satu) lembar.
  10. Surat Pernyataan tidak sedang terkait kerjasama dengan pihak lain yang melakukan usaha sejenis dengan JNE (di atas meterai Rp. 6.000).
  11. Membayar biaya Administrasi Keagenan sebesar Rp. 5.500.000,- (Lima Juta Lima Ratus Rupiah) untuk material promosi, ijin dll.
  12. Wajib memberikan uang jaminan (security deposit) keagenan sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah). Uang jaminan tersebut akan dikembalikan apabila masa kontrak kerjasama keagenan berakhir atau diakhiri oleh salah satu pihak.
  13. Menanggung biaya pajak reklame.
  14. Menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) yang juga merupakan perjanjian kerjasama awal dan berlaku selama masa percobaan 3 bulan.
  15. Melakukan setoran Tunai secara Harian.
  16. Wajib Online dibawah koordinasi IT JNE Kantor Pusat apabila omset sudah mencapai Rp.50.000.000,-(Lima Puluh Juta Rupiah) per bulan.

 

B. SYARAT-SYARAT LOKASI DAN SUMBER DAYA

SYARAT LOKASI :

  1. Denah Lokasi Counter / Gerai.
  2. Strategis (dekat dengan area bisnis) , dapat diakses oleh kendaraan roda 4(empat) dan Dua Arah.
  3. Counter/gerai harus berbentuk ruko dan memiliki ukuran ruang minimum 3 x 3 meter.
  4. Lokasi counter/gerai harus lulus survey yang diadakan team survey JNE.
  5. Memiliki lahan parkir yang cukup memadai, minimal 2(dua) unit mobil.
  6. Tampilan Depan Counter dan Ruang Dalam sesuai dengan Standard Counter JNE (Pintu kaca dan Cat sesuai standard).
  7. Memiliki fasilitas komunikasi minimal : 1 (satu) fixed line telephone. (untuk kebutuhan Online System).
  8. Memiliki setidaknya 1 buah timbangan Digital yang bertera dengan kemampuan menimbang minimum 100 ( seratus ) kilogram.

SYARAT SDM :

  1. Memiliki minimal 2 (dua) petugas dengan minimal pendidikan setingkat SLTA.
  2. Petugas harus memiliki sertifikasi lulus training dari JNE Kantor Pusat.
  3. Wajib menggunakan Seragam dan ID Card Agen
  4. Mampu melakukan penjemputan/pick-up kiriman dari Pelanggan / pengirim.

C. SYARAT ONLINE

  1. Memiliki satu set Komputer minimal Pentium IV memory 512 MB, HD:10 GB, O/S : MS Windows XP SP3 (licensed).
  2. Memiliki minimal 1(satu) unit Printer Laser Jet/Dot Matrik.
  3. Akses Online menggunakan VPN Instan + Speedy Internet Telkom + Modem Speedy.
  4. Menanggung Biaya Online : Biaya Instalasi pasang baru Rp.75.000,- dan Biaya Online Rp.330.000,- (sudah termasuk PPn 10%).

D. TARGET DAN KOMISI PENJUALAN

Target Penjualan :

  1. Target Penjualan selama 3 (tiga) bulan masa percobaan sebesar min. Rp 5.000.000,-.
  2. Target Penjualan bulan ke-4 (empat) dan seterusnya sebesar Rp 5.000.000,- atau Rp.60.000.000,-/tahun.
  3. Apabila Target Penjualan pada bulan ke-4 sampai dengan maksimal 1(satu) tahun tidak tercapai, maka kantor pusat JNE berwenang untuk meninjau kembali kerjasama Keagenan.

Komisi Penjualan :

  • Target Penjualan Rp 0,- s/d Rp 5.000.000,- = Komisi Penjualan 22%*.
  • Target Penjualan Rp 5.000.001 s/d Rp 10.000.000,- = Komisi Penjualan 25%*.
  • Target Penjualan Rp 10.000.001,- keatas = Komisi Penjualan 27%*.
  • Komisi Penjualan product OKE sebesar 15%.
  • Komisi Penjualan product TRUCKING sebesar 10%.
  • berlaku untuk layanan Regular, YES, SS dan International

Untuk informasi lebih lanjut hubungi :

Wilayah Jakarta
Sukasno (Selatan 1) 0818-475-436
Abdul Rahman (Timur) 0813-1824-2070
Yusman Rifai (Pusat) 0813-1811-4093
Sabihis (Barat 1) 0878-8448-3595
Novaldino (Barat 2) 0857-144-79390
Abdul Hadi (Selatan 2) 0815-937-3040
Bernard Tjahyadi (Utara) 0852-8313-9198
Koord. Agen Wilayah Jakarta Selatan dan Timur
Soewondo 0813-1032-8093
Koord. Agen Wilayah Jakarta Pusat dan Utara:
Herry Herbowo 0817-0945-790
Koord. Agen Wilayah Jakarta Barat:
Inne Handayani 0813-846-999-72
Koord. Agen Wilayah Luar Jakarta
Ovi Aritanti 0815-86000-760

(sumber: http://www.jne.co.id)

MELIHAT INDAHNYA PANORAMA LAUT KEPULAUAN SERIBU UTARA (SEBUAH CATATAN PERJALANAN) – Bagian 1

KEBERANGKATAN

Jumat pagi itu pukul 5, dinginnya udara subuh masih terasa, saya dan Kang Dadang sudah bersiap jalan menuju Marina Ancol. Kami harus sampai di Marina pukul 7 untuk antri tiket kapal speedboat menuju pulau Kelapa. Tas perlengkapan sudah siap di samping mobil avanza hitam yang akan mengantar kami, tapi kami masih mencari beberapa peralatan yang harus dibawa. Bang Lubis, driver kantor sudah mulai gelisah dan meminta kami mempercepat persiapan karena jika telat 5 menit saja maka ceritanya akan lain, kita akan terjebak di Cawang bersama dengan ratusan bahkan ribuan kendaraan dari Bogor yang akan ke kawasan Sudirman – Thamrin. Akhirnya kami meluncur ke Marina tepat pukul 5.25 berpacu dengan waktu dan deru kendaraan lain yang sudah terlebih dulu merambah ibukota.

Suasana Dermaga 6 di pagi hari, penumpang sudah berkumpul menunggu kapal berangkat.

Suasana Dermaga 6 di pagi hari, penumpang sudah berkumpul menunggu kapal berangkat.

Pukul 06.15 kami akhirnya sampai di Dermaga 6 Marina Ancol, yang pastinya harus bayar dulu masuk Ancol, Rp. 80.000 untuk 1 mobil dan 3 orang. Ternyata…kapal baru jalan jam 8 pagi, oh no…kepagian kita. Tanpa ba…bi…bu…kita langsung pergi dari Dermaga 6 untuk cari sarapan, maklum karena kita berangkat pagi-pagi buta, kita belum sempat sarapan. Di sekitar Dermaga 12 ternyata ada deretan warung nasi yang memang untuk konsumsi pegawai Ancol dan ada sebuah musholla. Sempat terpikir berapa kira-kira makan di dalam kompleks Marina Ancol, ternyata kita makan bertiga hanya Rp. 37.000, itu sudah dengan minum, berarti standar makan di warteg dong, Alhamdulillah…

 

Contact person marketing kapal speedboat di Marina Ancol.

Contact person marketing kapal speedboat di Marina Ancol.

Kembali ke Dermaga 6, bang Lubis pamit pulang ke kantor, takut macet karena hari sudah beranjak siang. Saya dan kang Dadang langsung menuju ke pembayaran tiket kapal speedboat. Sesuai pesan H. Djamala – alumni ESQ yang tinggal di pulau Kelapa – kami disarankan untuk menemui pak Budi atau pak Deden, dan akhirnya kami bertemu pak Budi. Harga normal tiket ke pulau Kelapa kalau hari kerja (weekday) adalah Rp. 220.000/orang, karena kita bawa nama pak H. Djamala kita cuma bayar Rp. 200.000/orang. Barang bawaan kami dibawa terlebih dulu oleh petugas ke kapal untuk memudahkan kami nanti pada saat masuk kapal. Jika barang tas dan barang bawaan melebihi berat 10kg maka akan dikenakan tambahan biaya sesuai dengan beratnya.

Daftar harga tiket kapal.

Daftar harga tiket kapal.

Daftar harga charge tambahan barang bawaan.

Daftar harga charge tambahan barang bawaan.

Setelah membeli tiket, sambil menunggu dipanggil masuk kapal, saya dan kang Dadang berfoto dan melihat-lihat suasana sekitar dermaga yang mulai dipadati oleh calon penumpang yang akan menuju ke kepulauan Seribu. Ternyata cukup banyak juga yang mau ke kepulauan Seribu, termasuk beberapa turis asing, ada yang dari Eropa, Timur Tengah, bahkan Asia Timur. Kang Dadang yang selalu membawa pocket camera terlihat asyik memotret berbagai objek, bahkan objek yang tak terpikirkan oleh orang biasa, kalau ditanya lagi foto apa, sambil tersenyum kang Dadang berkata, “Siapa tahu diperlukan jadi dipotret aja, daripada nulis, capek trus bisa hilang”.  Dalam hati saya berpikir, bener juga.

Salah satu jenis speedboat yang mengangkut penumpang menuju kepulauan Seribu

Salah satu jenis speedboat yang mengangkut penumpang menuju kepulauan Seribu

Pak Budi (batik biru) sedang memanggil penumpang untuk masuk ke kapal

Pak Budi (batik biru) sedang memanggil penumpang untuk masuk ke kapal

Jam 8.05 para penumpang mulai dipanggil berdasarkan keberangkatan kapal. Setiap kapal mempunyai trayek yang berbeda sesuai dengan posisi pulaunya.   Setiap penumpang harus antri dan masuk kapal sesuai panggilan dari pak Budi, mereka yang lebih dulu dipanggil bebas memilih tempat duduk yang diinginkan.  Suara pak Budi yang memanggil penumpang dengan menggunakan speaker toa terdengar jelas menyebut nama “Bapak Adam, 2 orang ke pulau Kelapa, silakan naik”, segera saya dan kang Dadang bergegas naik ke kapal.

Salah satu jepretan foto kang Dadang sebelum kapal berangkat.

Salah satu jepretan foto kang Dadang sebelum kapal berangkat.

Naik speedboat memang bukan yang pertama kali untuk saya dan kang Dadang, namun naik speedboat untuk angkutan dan terbilang cukup bagus ini merupakan pengalaman khusus bagi saya dan kang Dadang.  Kapal yang dilengkapi dengan 3 mesin yang masing-masing mempunyai daya 250pk itu cukup besar dan mampu memuat 20-30 orang.  Tampilannya yang terkesan mewah membuat saya berpikir, wajar saja jika harga tiketnya mahal, mengingat bahan bakar solar yang diperlukan mesin sebesar 750pk menuju pulau Kelapa cukup besar dan mahal.

Bagian dalam kapal, mampu menampung sekitar 25 orang, tidak ada jendela yang terbuka, hanya kaca yang memungkinkan penumpang melihat kondisi di luar kapal.  Di dalam kapal ada 1 unit tv plasma dilengkapi speaker, dan ada juga 1 unit AC split ukuran 1pk yang cukup membuat sejuk udara dalam kapal.  Di bagian atasnya menampung 5-6 orang termasuk pengemudi kapal atau nahkoda. Sebenarnya posisi duduk ideal untuk kapal speedboat jenis itu adalah di atas karena kita bisa sambil melihat pemandangan laut pada saat kapal jalan, namun apa daya yang duduk di atas adalah orang yang terlebih dulu dipanggil oleh pak Budi.  Tapi jangan khawatir, ada tempat duduk ideal lain yaitu di bawah bagian belakang luar dekat dengan mesin, yaah, terbatas juga sih tempatnya, 4-5 orang bisa lah.

Salah satu sudut pulau Kotok yang disinggahi.

Salah satu sudut pulau Kotok yang disinggahi.

Di dalam kapal, saya asyik main tablet sambil berusaha untuk beristirahat karena malam sebelum berangkat saya susah tidur, dan baru tidur pukul 2 pagi. Sementara kang Dadang mulai keluar dari dalam kapal menuju bagian belakang kapal untuk memotret suasana laut dan kepulauan yang dilewati sepanjang perjalanan. Kapal singgah di pulau Kotok untuk menurunkan penumpang dan melanjutkan kembali perjalanan menuju pulau Kelapa.  Setelah kurang lebih 2 jam, kami akhirnya sampai di pulau Kelapa pukul 10.15, kapal bersandar di dermaga kantor kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan disambut oleh pak H. Djamala yang bertugas di kantor Kecamatan Kepualuan Seribu Utara di bagian pelayanan masyarakat.

Kantor Kec. Kepulauan Seribu Utara di Pulau Kelapa

Kantor Kec. Kepulauan Seribu Utara di Pulau Kelapa

Salah satu dermaga pulau Kelapa di depan Kantor Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

Salah satu dermaga pulau Kelapa di depan Kantor Kecamatan Kepulauan Seribu Utara

Peta Potensi pulau Kelapa

Peta Potensi pulau Kelapa

Saya berbincang dengnan pak H. Djamala

Saya berbincang dengnan pak H. Djamala

So Many Leaders Get This Wrong

LinkedIn

by : Jack & Suzy Welch

We’ve always said that human resources should be the most powerful part of an organization. So why, in reality, is its impact more often felt in a negative way?

Because human resources, unfortunately, often operates as a cloak-and-dagger society or a health-and-happiness sideshow. Those are extremes, of course, but if there is anything we have learned over the past five years of traveling and talking to business groups, it is that HR rarely functions as it should. That’s an outrage, made only more frustrating by the fact that most leaders aren’t scrambling to fix it.

Look, HR should be every company’s “killer app.” What could possibly be more important than who gets hired, developed, promoted, or moved out the door? Business is a game, and as with all games, the team that puts the best people on the field and gets them playing together wins. It’s that simple.

You would never know it, though, to look at the companies today where the CFO reigns supreme and HR is relegated to the background. It just doesn’t make sense. If you owned the Boston Red Sox, for instance, would you hang around with the team accountant or the director of player personnel?

Sure, the accountant can tell you the financials. But the director of player personnel knows what it takes to win: how good each player is and where to find strong recruits to fill talent gaps. Several years ago we spoke to 5,000 HR professionals in Mexico City. At one point we asked the audience: “How many of you work at companies where the leader gives HR a seat at the table equal to that of the CFO?” After an awkward silence, fewer than 50 people raised their hands. Awful!

Since then, we have tried to understand why HR has become so marginalized. As noted above, there are at least two extremes of bad behavior.

The stealthy stuff occurs when HR managers become little kingmakers, making and breaking careers, sometimes not even at the leader’s behest. These HR departments can indeed be powerful, but often in a detrimental way, prompting the best people to leave just to get away from the palace intrigue.

Almost as often, though, you get the other extreme: HR departments that plan picnics, put out the plant newsletter (complete with time-in-service anniversaries duly noted), and generally drive everyone crazy by enforcing rules and regulations that appear to have no purpose other than to bolster the bureaucracy. They derive the little power they have by being cloyingly benevolent on one hand and company scolds on the other.

So how do leaders fix this mess? It all starts with the people they appoint to run HR—not kingmakers or cops but big leaguers, men and women with real stature and credibility. In fact, managers need to fill HR with a special kind of hybrid: people who are part pastor (hearing all sins and complaints without recrimination) and part parent (loving and nurturing, but giving it to you straight when you’re off track).

Pastor-Parent types can come up through the HR department, but more often than not, they have run something during their careers, such as a factory or a function. They get the business—its inner workings, history, tensions, and the hidden hierarchies that exist in people’s minds. They are known to be relentlessly candid, even when the message is hard, and they hold confidences tight. With their insight and integrity, pastor-parents earn the trust of the organization.

But pastor-parents don’t just sit around making people feel warm and fuzzy. They improve the company by overseeing a rigorous appraisal-and-evaluation system that lets every person know where he or she stands, and they monitor that system with the same intensity as a Sarbanes-Oxley compliance officer.

Leaders must also make sure that human resources fulfills two other roles. It should create effective mechanisms, such as money, recognition, and training, to motivate and retain people. And it should force organizations to confront their most charged relationships, such as those with unions, individuals who are no longer delivering results, or stars who are becoming problematic by, for instance, swelling instead of growing.

Now, considering your negative experience with human resources—and you are hardly alone—this kind of high-impact HR activity probably sounds like a pipe dream. But given the fact that most leaders loudly proclaim that people are their “biggest asset,” it shouldn’t be.

It can’t be. Leaders need to put their money where their mouth is and get HR to do its real job: elevating employee management to the same level of professionalism and integrity as financial management. Since people are the whole game, what could be more important?

Jack Welch is Executive Chairman of the Jack Welch Management Institute at Strayer University. Through its Executive MBA program, the Jack Welch Management Institute provides students and organizations with the proven methodologies, immediately actionable practices, and respected credentials needed to win in business.

Suzy Welch is a best-selling author, popular television commentator, and noted business journalist. Her New York Times bestselling book, 10-10-10: A Life Transforming Idea, presents a powerful decision-making strategy for success at work and in parenting, love and friendship. Together with her husband Jack Welch, Suzy is also co-author of the #1 international bestseller Winning, and its companion volume, Winning: The Answers. Since 2005, they have written business columns for several publications, including Business Week magazine, Thomson Reuters digital platforms, Fortune magazine, and the New York Times syndicate.

A version of this column originally appeared in BusinessWeek Magazine.

Sang Pemberani (Bushido Spirit)

Gambar - Poster Sang Pemberani

Madi Ghafur nyaris ber­lompatan girang keti­ka pukulannya di­nya­takan masuk oleh wasit. Sebentar lagi dia akan mengalahkan Azim Adnan, si anak emas banyak orang ini. Jika dia memenangkan pertandingan ini, tentu berhak ikut dalam training center karate tingkat nasional yang akan diproyeksikan berangkat ke Kejuaraan Dunia Anak-anak di Jepang.

Penonton menjadi tegang. Sebab nilai dua anak itu sekarang sama. Azim yang lebih tenang tadi sempat terlihat menguasai arena. Namun Madi yang dikenal ngotot tidak menyerah. Terus melawan sebisa­nya. Sekarang satu pukulan saja akan membuatnya berjaya.

Sayang Madi tidak bisa mengontrol emosinya. Dia menyerang membabi buta. Azim pun menyarangkan tendangan tak keras tapi akurat. Masuk. Poin buat Azim. Orang-orang menarik napas lega. Sebab sebagian penonton yang kebanyakan adalah pengurus karate Aceh lebih senang Azim yang mewakili Aceh. Sebab Madi itu anak badung yang bermasalah. Kecuali satu orang laki-laki memakai topi yang cepat menghilang dari kerumunan. Dia sempat terlihat bereaksi terhadap gerakan-gerakan Madi.

Azim dielu-elukan. Madi pun pulang membawa amarah. Menyusuri gang kumuh di balik pasar ke arah rumah petaknya. Sepanjang jalan dia menendang apa yang bisa ditendang. Saat bertemu dengan sekelompok anak muda, berandal­an, Madi diledek-ledek sebagai jagoan kertas yang melempem. Berkelahinya saja pakai wasit.

Madi mengamuk. Anak-anak yang dua kali badannya itu dia sikat. Terjadi perkelahian massal. Ke­ributan yang membuat Sarifah, ibu Madi, marah besar. Madi selalu mencari gara-gara. Apalagi salah se­orang anak yang Madi hajar adalah anak langganan jasa cuci Sarifah.

* Baca artikel selengkapnya di majalah ESQ Life edisi April 2014